Informasi ini saya kumpulkan dari semua sumber, tidak ada informasi yang memiliki hak cipta karena setiap orang berhak mendapatkan berita

Minggu, 10 Oktober 2010

Truganini, kisah sedih & sisi kelam pendatang benua australia

Beberapa belas taun yang lalu (taun 1994an), gue seneng denger lagu Truganini-nya Midnight Oil, lagunya sedih, trus gue cari tau apaan & siapa sih Truganini , ternyata berhubungan sama “sejarah kelam” Australia. Agak sedih, buat yang gampang terenyuh, siapin tissue. Begini ceritanya gue kompilasiin dari berbagai sumber.

TRUGANINI

Lahir 1812 di Pulau Bruny, Tasmania, Australia
Meninggal Mei 1876 Hobart, Tasmania, Australia Juru bicara & pemimpin Suku Aborigin Sampai saat ini sejarah menyebutnya sebagai “ The last Full Blooded Tasmanian – Aborigine”

Walau Invasi Eropa sudah ada sebelumnya, namun, The Black War yang merupakan sebuah kampanye teror terhadap orang-orang Hitam Tasmania mengalami puncaknya antara tahun 1803 sampai 1830 dimana kaum pribumi hitam Tasmania (Aborigin) dibunuh.

Dengan di keluarkannya deklarasi darurat militer pada bulan November 1828, warga kulit putih di perbolehkan untuk membunuh Suku asli kulit hitam Aborigin yang berhasil mereka temui, bahkan pemerintah kolonial menawarkan uang sebesar 5 Poundsterling untuk setiap warga kulit hitam yang berhasil di bunuh dan sebesar 2 Pounsterling untuk kaum anak2 suku Aborigin. Yang kemudian menjadikan ladang mata pencaharian besar2an oleh orang kulit putih untuk menghalalkan pembantaian besar2an di Australia karena di dukung oleh pemerintah kolonial Inggris. Tentu saja Kaum Asli Australia melakukan perlawanan, dengan senjata seadanya yaitu kayu berujung runcing, panah dan senjata tradisional lainnya, namun tetap tidak berdaya melawan senjata api modern kaum kolonial.

Truganini adalah seorang putri kepala suku di Pulau Bruny, Tasmania yang bernama Mangana.

Setelah Perang Hitam berakhir, kaum kulit hitam di masukan ke Camp Konsentrasi untuk pendataan dan pengawasan, karena jumlahnya yang sudah sangat kecil, mereka sudah tidak di anggap sebagai ancaman dan pengganggu lagi.

Pada tahun 1830 George Augustus Robinson, seorang pastor dan misionaris, namun di sumber lain di sebutkan dia adalah serang kontraktor bangunan yang dipekerjakan untuk mengumpulkan sisa warga asli Tasmania dan membawa mereka ke Pulau Flinders, tiga puluh mil jauhnya dari Tasmania.

Truganini, menjadi salah satu wanita yang bergabung dalam misi pengungsian Robinsson, adalah seorang gadis berusia 18 tahun yang hanya bertinggi badan sekitar 130 cm. Ibunya mati dibunuh oleh orang kulit putih, saudara sedarah dan se-sukunya diculik untuk dijadikan budak, ibu tirinya diculik dan Truganini sendiri diperkosa oleh orang kulit putih yang sama yang telah membunuh tunangannya.


Pada awal tahun 1830an, Truganini berjuang untuk mengumpulkan sukunya yang masih tersisa, bekerjasama dengan otoritas kulit putih, untuk bersama2 pindah ke lokasi yang dirasakan aman dari penindasan kaum kulit putih. Bersama suaminya Woureddy, Truganini membantu misi Robinsson untuk mengumpulkan dan memberikan penjelasan kepada sukunya untuk tidak ada pilihan lain selain ikut dengan Robinsson membuat tempat baru yang aman dari kulit putih di Port Philip. Sayangnya karena banyak kejadian yang tidak memungkinkan banyak warga asli yang malah meninggal selama kurun waktu perjalanan menuju tempat baru tersebut karena kekurangan makanan dan penyakit menular, sehingga tercatat dari sekitar 1800an warga asli Tasmania yang hijrah bersama Robinsson hanya tersisa sekitar 50 orang saja.

Namun kemudian ketika ada deklarasi serupa yang boleh melanjutkan pembantaian kembali, Truganini bergabung bersama para pejuang asli Port Philip berbalik melawan kelompok kulit putih dan Robbinsson. Truganini kemudian di tangkap dan di bawa ke Pulau Flinders.

Pada tahun 1856, hanya tinggal beberapa orang yang tersisa dari suku asli Tasmania aborigin. Pada 1869 the last Tasmanian male Aborigine, William Lanne yang di percaya sebagai suami dari Truganini meninggal. Pada tahun 1873 semuanya meninggal, hanya tinggal Truganini seorang yang tersisa. Hingga pada tahun 1876 dia di pindahkan ke Hobart sampai akhir hayatnya.

Sebelum meninggal, Truganini meminta kepada otoritas kulit putih agar jenasahnya di kremasi dan di buang ke Laut terusan D'Entrecasteaux, dekat tanah kelahirannya di Tasmania, namun hingga sampai meninggalpun, Truganini tidak dapat merasa tenang karena dia malah di kubur di sebuah peti dan di taruh di sebuah ruang bawah tanah, jenasahnya di angkat dan kemudian malah di pamerkan di museum Hobart Penitentiary hingga tahun 1947. Sesudah itu hanya di simpan hingga tahun 1976 (100 tahun setelah meninggalnya), kerangkanya di kremasi dan di buang ke laut terusan D'Entrecasteaux sesuai permintaannya. Para kaum kulit putih kemudian menamakannya 'Queen of the Aborigines'.
Truganini bukan merupakan orang Aborigin terakhir, namun merupakan Suku Aborigin Tasmanian yang terakhir.
cerita ini juga Split share di kaskus, Indonesian largest community (klik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar